Kalau ditanya "gimana rasanya?" Jawaban yang tepat saat ini adalah, campur aduk. Beberapa komentar susulan dari kawan, sahabat atau kenalan, yang baru tahu kalau saya move on jadi SAHM ada yang menguatkan, ada yang meruntuhkan mental.
"Wah, sayang banget lho ! Karir uda bagus !"
"Kapan ya Nov, aku bisa nyusul kaya kamu?"
"Emane.. !"
"Ngga nyesel nih ?"
"Keputusan yang mulia !"
"Ntar jenuh lho !"
"Di rumah itu stress, pa lagi kalo ngg pegang duit"
Dan masih banyak lagi. Jujur, saya belum berani mem publish status sebagai SAHM di akun jejaring sosial yang saya miliki . Takut lebih banyak komentar lagi.
Sebenarnya, persiapan mental sudah lama saya lakukan. Tapi, respon dari orang tersayang yang mendadak dangdut berubah 180' membuat semua yang sudah saya persiapkan runtuh berkeping-keping. Bagaimana tidak, seseorang yang seharusnya bisa saya pinjam pundaknya untuk bersandar, tiba-tiba menarik dukungannya atas keputusan (besar) yang saya buat. Emosi positif saya tersedot habis. Dunia seolah ikut menyalahkan saya. Tapi untungnya, masih ada yang menyemangati saya, yaitu sahabat kecil saya, yang sangat bersuka cita atas keputusan saya. Yah, itulah yang menguatkan saya.
Anyway, masalah saya dengan orang tersayang biarlah saya menej tersendiri. Disini saya pengen sharing saja, suka duka masa transisi dari working mom menjadi SAHM.
- minggu pertama
Idealis, new SAHM, pengen buktiin bahwa tanpa asisten pun, kerjaan rumah bisa saya handle semua. Padahal, kerjaan kantor (ternyata) belum bisa saya tinggal. Terbukti, pengganti saya, bisa menelepon sampai 3x dalam setengah hari. Setengah hari selanjutnya, terpaksa saya 'cut' karena pangawasan saya ke Icha, yang awalnya menjadi tujuan utama saya resign, menjadi lemah karena saya keseringan nerima telepon urusan pekerjaan (yang sudah bukan tanggungjawab saya lagi). Allih-alih bisa fokus ngawasin anak, pikiran malah terbelah dan terbeban pekerjaan. Efek nyata : pekerjaan rumah berantakan, pengawasan anak gagal (terpeleset di kamar mandi waktu saya ditelepon kantor), akhirnya stamina drop, mental down, dan tekanan darah langsung turun, migrain.
Harus tegas ! Tanggungjawab saya sekarang di rumah.
- minggu kedua
Migrain masih menyertai. Urusan kantor, sedikit saya ketati. Ngga mau angkat telepon di jam-jam sibuk atau jam istirahat. Hp di silence. Kejadian, lagi tidur siang hp bunyi. Ex kantor !! *sigh*.
Setelah sikon terkendali, kerjaan rumah dan pengawasan anak saya fokuskan. Kembali ke idealisme awal. Mewujudkan rumah rapi dan bersih tanpa ART. Next problem, malam hari badan ngilu nyeri nggak ketulungan. Hamil 5 bulan, kerjaan di forsir. Alarm tubuh langsung bunyi. Musti istirahat dulu. Slow down.
- minggu ketiga
Memutuskan untuk refreshing. Urusan dengan orang tersayang belum klir, tapi butuh penyegaran. Apa boleh buat, demi baby di perut. Saya packing hanya berdua dengan Icha. Mohon ijin ke orang tersayang, dan meluncur ke Jogja, kemudian ke kampung halaman.
- hari ke 24
Masih di kampung halaman, menikmati suasana desa yang segar. Inginnya pulang nanti suasana hati lebih fresh.
Kisah saya, pastilah hanya sekelumit suka duka peralihan dari seorang WM menjadi SAHM. Masih banyak kisah-kisah menarik lain yang dialami oleh mom mom yang lain.
Working mom, selalu berada di persimpangan tiada henti. Antara kewajiban mengurus keluarga, dengan tuntutan pekerjaan (apalagi jika karir menanjak, keluarga hampir pasti terabaikan). Sementara SAHM, berada di posisi seolah status nomor dua. Tidak berkelas, tidak keren, hanya urusan dapur dan anak melulu. Tidak sedikit SAHM yang mengalami kejenuhan, karena tidak adanya support dari orang tersayang akan posisinya.
Mildred B Vermont mengatakan "Being a full-time mother is one of the highest salaried jobs... since the payment is pure love"
Sangat setuju Mr. Vermont !